Perkembangan Gerakan-Organisasi Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan



Donny Syofyan1

Pemuda dunia memainkan peranan penting dalam kehidupan ini dan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Di tangan generasi muda itu terletak tujuan berjuta-juta rakyat di dunia. Generasi muda harus menggarap tantangan dunia modern (Tom Mboya)

Pengantar
Gerakan mahasiswa internasional memainkan peranannya sejak mulai berdirinya Universitas Bologna, Paris, dan Oxford pada abad ke-12 dan 13. Mereka melancarkan suatu gerakan yang tertuju pada masyarakat dan banyak membawa perubahan sejarah. Masalah gerakan mahasiswa abad ke-20 bertitik tolak pada kejadian penyerbuan pertemuan mahasiswa oleh serdadu militer Hitler tanggal 17 November 1939 di Praha, Chekoslowakia. Akibat penyerbuan yang brutal itu, sebanyak 9 pemimpin mahasiswa tewas. Universitas Charles ditutup. Peristiwa itu melukai seluruh mahasiswa, bukan saja di Chekoslowakia tapi juga di Eropa bahkan dunia. Penyerbuan serupa juga terjadi di Brussel, Belgia yang menyebabkan berakhirnya kehidupan organisasi mahasiswa internasional.
Namun kemudian organisasi ini kembali terbentuk setelah 24 orang mahasiswa dari berbagai negara melakukan pertemuan di London bulan November 1945. Pasca Perang Dunia II percaturan internasional terbagi menjadi dua blok dan melahirkan Perang Dingin. Kondisi serupa ternyata terjadi dalam gerakan mahasiswa. Ini terbukti dengan itikad mahasiswa untuk mendirikan International Union of Students (IUS) tahun 1946 tidak dapat dipertahankan ketenangannya karena kemudian tahun 1950 terbentuk pula International Student Conference (ISC) yang dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa dari Barat.
Perkembangan sejarah gerakan mahasiswa internasional tidak bisa dilepaskan dari serangkaian kejadian perkembangan sejarah pada umumnya. Peristiwa-peristiwa yang melibatkan peranan mahasiswa lebih disebabkan kondisi negara atau dunia yang penuh dengan ketidakadilan. Revolusi Hongaria adalah suatu bentuk perlawanan mahasiswa Hongaria terhadap penjajahan Uni Soviet yang sarat dengan penindasan. Revolusi yang meletus tanggal 23 Oktober 1956 ini dimulai dari tuntutan untuk menyingkirkan mahaguru yang beraliran Stalinis dan pencopotan mahaguru komunis dari universitas, aksi kemudian meluas sampai akhirnya mahasiswa mengeluarkan 14 manifesto yang isinya antara lain keinginan untuk merdeka, kebebasan dan tentara Uni Soviet harus meninggalkan Hongaria. Hawa perjuangan yang dibawa mahasiswa semakin mengkristal hingga terbentuklah sebuah gerakan besar lebih dari 12.000 pelajar dan mahasiswa bergabung bersama rakyat hingga mencapai delapan 80.000 orang. Aksi ini harus mengahadapi tentara dan tank-tank Uni Soviet hingga mengakibatkan korban berjatuhan. Revolusi yang relatif gagal ini membuka mata hati rakyat Hongaria akan hakikat kemerdekaan dan keadilan. Demikian pula perjuangan panjang mahasiswa Spanyol terhadap diktator Spanyol Primo de Rivera dan Jenderal de Franco atau perjuangan di Amerika, kelompok kecil mahasiswa mampu membuat Revolusi Kuba menenggelamkan kekuasaan diktator Batistuta dengan “gerakan 26 Juli” 1957. Di Argentina, mahasiswa berhasil menjatuhkan diktator Juan Peron tahun 1955, begitu pula di Aljazair, Sudan, Turki, Korea, Filipina, dan di belahan dunia lainnya.
Di Indonesia, mahasiswa memiliki peranan yang signifikan dalam politik dan sejarah bangsa. Perkembangan intelektual kaum muda Indonesia sebelum kemerdekaan distimulasi oleh perubahan sikap politik pemerintah kolonial Belanda melauli kebijakan Politik Etis setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun, kaum pribumi mendapatkan perlakuan lebih baik. Melalui kebijakan ini pemuda Indonesia mendapatkan kesempatan lebih luas untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan walaupun terbatas hanya golongan bangsawan dan orang-orang kaya saja. Itulah gerbang dari gerakan-gerakan yang selanjutnya mewarnai dunia kemahasiswaan Indonesia.

Perkembangan Gerakan Mahasiswa Indonesia
Beriringan dengan timbulnya gerakan nasional, pergerajan mahasiswa sudah mulai memperlihatkan aktivitasnya secara nyata, seperti lahirnya Boedi Oetomo (1908). Pencetusan Sumpah Pemuda (1928) semakin jelas memperjelas posisi mahasiswa dalam pergerakan politik Indonesia. Arbi Sanit menyebutkan bahwa mahasiswa adalah kekuatan potensial karena beberapa hal.2
Pertama, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan orientasi masyarakat.
Sejauh menyangkut dunia perguruan tinggi, kita tahu bahwa mahasiswa termasuk dalam barisan depan dalam penumbangan PKI dan Orde Lama. Melalui Angkatan 66 mahasiswa dan dunia kampus menunjukkan sekaligus membuktikan kepedulian (concern) dan komitmennya terhadap masa depan bangsa. Tetapi pada segi lain,  kemunculan Angkatan 66 juga memperlihatkan kegiatan lain: keterlibatan kampus dan mahasiswa yang cukup intens dalam kancah dan perubahan politik di tanah air. Melalui Dewan Mahasiswa (DM) dan Senat Mahasiswa (SM), mahasiswa Indonesia mengekspresikan dan mewujudkan aspirasi politiknya.
Maka kebangkitan antara periode Orde Baru sampai 1978 adalah masa-masa kejayaan politik mahasiswa. Dalam kerangka politik ini, mahasiswa Indonesia memainkan peranan sebagai “moral force” (kekuatan moral), yang pada esensi bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan perkembangan politik, ekonomi, dan pembangunan yang dalam kaca mata mereka tidak selaras dengan cita-cita bangsa. Dalam fungsi sebagai “moral force” itulah kemudian, seolah tak terelakkan, mahasiswa berbenturan dan terlibat dalam konflik dengan penguasa. Konsekuensinya, masa-masa “bulan-bulan madu” antara mahasiswa dengan pemerintah dengan segera lenyap, begitu mahasiswa mengkritik dan mempertanyakan kebijaksanaan dan arah pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam kerangka inilah kita melihat munculnya protes, misalnya terhadap gagasan pembangunan TMII yang digagas Ibu Tien Soeharto yang dipandang sebagai “proyek mercusuar”, isu anti korupsi, gerakan tidak percaya pada Pemilu 1971 yang kemudian melahirkan gerakan “Golongan Putih” yang dipelopori oleh Arief Budiman. Puncak dari “kegelisahan” mahasiswa ini terlihat dalam kasus Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Memandang bahwa perekonomian Indonesia berkecenderungan kuat didominasi oleh kekuatan luar negeri, mahasiswa meluncurkan protes keras terhadap kunjungan Menteri Luar Negeri Jepang, yakni Tanaka yang memunculkan Hariman Siregar sebagai the new leader gerakan mahasiswa. Protes yang berakhir dengan kerusuhan ini merupakan titik nadir dari “kemesraan” hubungan antara mahasiswa dengan penguasa pada masa-masa sebelumnya. Dan sejak itulah pemerintah mulai memikirkan “penataan” kehidupan kampus. Tema semacam “back to campus” mulai digencarkan. Hasilnya, pemerintah mulai mengeluarkan SK No. 028/U/1974 tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan dalam rangka “Pembinaan Kehidupan Kampus Pergutuan Tinggi”. Dalam peraturan yang menyertai SK ini ditegaskan bahwa kegiatan politik kampus harus dialihkan pada kegiatan ilmiah.
Tapi SK dan peraturan itu tampaknya tidak menamatkan kegiatan politik mahasiswa. Menjelang 1978—berkaitan dengan Pemilu dan SU MPR—gerakan mahasiswa kembali menemukan momentumnya. Puncak dari “Gerakan 78” ini adalah “mempertanyakan kepemimpinan nasional”. Akibatnya, pemerintah melancarkan penataan kegiatan kampus secara lebih intens. Mendikbud Daud Jusuf mengeluarkan SK No. 156/U/1978 tentang “Normalisasi Kehidupan Kampus” yang menetapkan pembubaran Dewan Mahasiswa (DM) dan pembentukan organisasi Badan Koordinasi Kegiatan (BKK)—yang diketuai oleh Pembantu Rektor III. Dengan demikian, tamatlah riwayat “student government” yang independen dari penguasaan dan kekuasaan penguasa kampus.
Dampak bagi pembubaran DM dan pembentukan BKK amat fatal bagi kegiatan mahasiswa. Sejak saat inilah mulainya kelesuan kehidupan kampus. Dengan NKK/BKK mahasiswa mengalami proses pengkredilan berpikir dan pembonsaian visi dan idealisme. Kenyataan ini tidak hanya melanda organisasi intra universiter, tapi juga organisasi ekstra universiter, khususnya HMI, PMII, IMM, GMNI, PKKRI, dan lain-lain. Penetrasi dan pengaruh organisasi ekstra yang sebelumnya sangat dominan di kampus juga berhasil dijinakkan oleh pemerintah. Slogan mahasiswa sebagai “moral force” kini diganti dengan “slogan” baru, yakni “buku, pesta, dan cinta”. Inilah kerugian terbesar pada era pasca-Malari yang tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah mahasiswa.3
Berbarengan dengan perkembangan ini pemerintah sejak dekade 80-an memperkenalkan sistem kredit semester (SKS), yang memperpendek masa studi mahasiswa. Semua perkembangan ini membuat mahasiswa menjadi “inward oriented”—berorientasi ke dalam diri mereka sendiri; lebih asyik dengan kegiatan perkuliahan dan penyelesaian gelar.
Kelumpuhan organisasi intra dan ekstra universiter jika dilihat dari sudut pengembangan kehidupan keagamaan di kampus justru menjadi blessing in disguise—rahmat terselubung. Hilangnya kesempatan berkiprah dalam organisasi-organisasi intra dan ekstra universiter yang established (mapan)—dan karena itu sulit bergerak—menggiring mahasiswa kepada pembentukan kelompok-kelompok yang mengorientasikan diri pada pengembangan kegiatan-kegiatan ilmiah, keagamaan, dan aksi sosial. Dalam kerangka inilah kita menyaksikan kebangkitan masjid-masjid kampus; yang paling terkenal di antaranya, tentu saja, Masjid Salman di ITB Bandung, Masjid Al-Ghifari di IPB Bogor, Masjid Salahuddin UGM di Yogyakarta, Masjid Arief Rahman Hakim UI Jakarta, dll. Penting dicatat, kecuali aktif di masjid-masjid kampus, tidak sedikit pula mahasiswa yang mengambil prakarsa dalam pembentukan dan terlibat secara intens dalam organisasi remaja di luar kampus. Untuk menyebut beberapa organisasi paling terkenal saja, misalnya, Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Al-Azhar Jakarta, Remaja Islam (Masjid) Sunda Kelapa (RISKA) dan banyak lagi.
Memasuki era 1990-an gerakan mahasiswa muncul dengan paradigma baru, yaitu kuatnya pengaruh luar kampus terhadap pemikiran mahasiswa. Berhasilnya proyek NKK/BKK membuat aktivitas mahasiswa mencari ruang gerak yang lebih luas karena keterbatasan yang diciptakan oleh pola kehidupan kampus pasca Dewan Mahasiswa (DM). Kehidupan luar kampus yang ditemui mahasiswa lebih “nyaman” karena mereka tidak terikat dengan payung universitas yang sangat ketat.
Paling tidak ada dua model kehidupan luar kampus yang berpengaruh terhadap perkembangan gerakan mahasiswa pada awal 1990-an.
Pertama, corak LSM radikal yang tidak memerlukan legitimasi formal. Anas Urbaningrum mengatakan bahwa gejala gerakan non-afliatif ini berkembang dan mahasiswa semakin kreatif membentuk kelompok-kelompok informal yang menekankan solidaritas “ideologi gerakan” secara radikal.4 Corak seperti inilah yang melahirkan pelbagai kelompok yang berwacana kiri, seperti SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dengan tokohnya Andi Arief (Fisipol UGM) dan Nezar Patria (Filsafat UGM) yang masing-masing sebagai ketua dan sekretaris, PRD (Partai Rakyat Demokrat) yang dikomandani oleh Budiman Sudjatmiko, atau JAKKER (Jaringan Karya Kesenian Rakyat) dengan tokoh-tokohnya Wiji Thukul, Kiswondo (Sastra UGM), Alexander Edwin (Filsafat UGM), Farid Hilman, Wison (Sastra UI), I.G. Ayu Agung Putri (Fisip Unair), dan lain-lain.
Kedua, seperti telah disebut sebelumnya, munculnya gerakan yang berbasiskan mesjid; gerakan-gerakan mahasiswa Islam yang berbasiskan mesjid kampus. Ini menjadi semacam kekuatan baru dalam pergerakan mahasiswa Indonesia di tahun 1990-an. Kelompok kedua ini mencapai “hasil” lebih awal dibandingkan dengan kelompok pertama. Ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan mereka melawan perdagangan SDSB sampai di halaman Istana Negera. Keberhasilan ini memicu perkembangan gerakan mahasiswa menjadi lebih fokus karena timbulnya keyakinan bahwa rezim yang berkuasa (baca: Soeharto) tidak sekuat yang diperkirakan. Artinya, keberhasilan gerakan mahasiswa Islam tersebut menjadi “darah baru” pergerakan mahasiswa Indonesia.
Penolakan terhadap SDSB yang dipimpin oleh Egi Sujana pada 1994 adalah langkah awal bermulanya teori “lingkaran obat nyamuk”. Peristiwa tersebut menjadi simpul awal bergeraknya perlawanan mahasiswa samapi ke pusat kekuasaan. Gerakan tersebut menjadi starting point berubahnya gerakan mahasiswa kepada agenda yang lebih nyata; agenda aksi. Puncak dari gerakan mahasiswa pada era 1990-an adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa sekitar 32 tahun.
Gerakan mahasiswa pada era reformasi dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode. Pertama, periode gerakan yang dilakukan sampai kejatuhan Soeharto. Periode ini adalah puncak perlawanan mahasiswa terhadap represi yang dilakukan penguasa dalam waktu yang panjang. Memahami gerakan mahasiswa pada waktu ini lebih mudah karena memiliki goal yang jelas; turunkan Soeharto sebagai common enemy. Kedua, periode gerakan mahasiswa yang pasca lengsernya Soeharto. Imam B. Prasojo mengatakan bahwa gerakan mahasiswa pada waktu ini ternyata lebih sulit dipahami karena terjadinya fragmentasi gerakan dalam berbagai kelompok. Masing-masing kelompok memiliki agenda dan strategi yang berbeda. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa sumber fragmentasi pada awalnya terjadi akibat polarisasi mahasiswa menyikapi peralihan dari Soeharto kepada B.J. Habibie.5

Tipologi Gerakan dan Organisasi Mahasiswa
·Organisasi Kader
Organisasi ini adalah wadah paling awal tumbuh dalam dunia pergerakan. Seringkali mulanya hanya diinspirasi oleh beberapa orang yang menyadari bahwa perubahan hanya akan dicapai melalui pergerakan yang sistematis dan terorganisir. Maka pada fase awal pergerakan (fight against) yang dibutuhkan adalah sebuah organisasi yang merekrut sebanyak mungkin orang untuk melaksanakan kerja-kerja besar tersebut. Terjadilah upaya penyadaran, pencerahan dan kaderisasi kepemimpinan seiring dengan rekrutmen besar-besaran.
Namun apakah mahasiswa akan tetap bertahan di fase awal ini, sampai kapan wadah ini tetap relevan dan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pergerakan? Pada perkembangannya tidak cukup memuaskan. Dengan tingginya kuantitas anggota maka direkayasalah pola-pola kaderisasi sistemik-formal yang kemudian menjadi andalan. Training hampir dianggap segala-galanya dalam upaya kaderisasi. Kapabilitas seseorang seringkali diukur dengan tingkat training yang telah dilalui. Mirip dengan parameter senioritas yang juga menjangkiti organisasi kader secara implisit. Patut disyukuri hanya training yang masih cukup menjaga kesan non-pabrikan dalam wadah ini. Kecuali begitu banyak diskusi, seminar, lokakarya dan forum-forum intellectual exercises diselenggarakan dengan massif (bahkan penuh formalitas).
Karena begitu banyaknya menghadiri, termasuk non-anggota, maka anggota hanya menjadi angka-angka statistik, perkembangan meraka tak terbaca, dan kuantitas hadirin menjadi parameter keberhasilan penyelenggaraan forum ilmiah tersebut. Organisasi kader kehilangan tradisi kaderisasi yang spontan, personal dan lintas generasi yang sebenarnya pernah menjadi tradisi generasi-generasi awal organisasi tersebut, di mana hubungan-hubungan organisatoris belum berakses menyekat dan rendahnya kuantitas anggota lebih mengesankan solidaritas dan persaudaraan ketimbang ikatan organisatoris, mengedepankan persatuan karena kesamaan ide dan cita-cita ketimbang mengedepankan komunalisme. Jarang sekali diskusi-diskusi informal, obrolan-obrolan ilmiah dan persahabatan kental antara anggota yang lebih disebabkan keinginan mengembangkan diri dan ide secara interpersonal ketimbang alasan komunalistik dan organisatoris.
Kesan massif ini diperparah lagi dengan keinginan-keinginan mengurusi banyak bidang dan atau mengadakan upaya diferensiasi fungsi dan peran yang menuntut departementalisasi besar-besaran. Ia tidak hanya panjang secara struktur (tall organization) tapi juga gemuk. Ia nyaris memikirkan segalanya, nyaris mengurusi segalanya. Ia tidak malah kian kuat. Ibarat sumo-sumo era Tokugawa, ia memang besar tapi tak cukup “mematikan” dibandingkan dengan para samurai. Organisasi kader semakin tidak efisien dan efektif. Ia kehilangan spontanitas, fleksibelitas dan akselerasi.
Walaupun ada anggota yang menonjol secara intelektual, ia adalah pengecualian yang bersifat individual. Hanya kesadaran individual yang membangunkannya dari romantisme tentang masa lalu kebesaran organisasinya dan kewahannya saat ini, bukan kesadaran kolektif yang hampir punah dalam organisasinya untuk hidup hari ini (live today) dan untuk masa depan. Rata-rata tipikal anggota ini adalah minoritas; seringkali tidak tertarik untuk berada di tengah-tengah kutub kekuasaan dalam organisasinya walau cukup menonjol dan berpengaruh secara individual, terkadang melakukan otokritik terhadap organisasinya atau malah kelompok-kelompok diskusi kecil untuk menyalurkan dahaga intelektual.
· Kesatuan Aksi/Kelompok Aksi
Organisasi mahasiswa ini sebenarnya hanyalah kerumunan (crowd) yang diorganisasi dan dimanfaatkan oleh sejumlah individu yang ingin menyalurkan aspirasi politiknya. Hal yang kemudian hubungan yang terjadi sebagai bukan hubungan elit-massa hanyalah upaya internalisasi ide dan rasionalisasinya terhadap kerumunan itu. Jika hanya bersifat agitasi, propaganda, pseudo, demagogi maka ia bisa dibaca dengan perspektif teori elit-mass yang manipulatif.
Para penggerak aksi unjuk rasa seringkali berbasis organisasi kader massif, klub studi, organisasi struktural universiter atau malah tidak berbasis organisasi pergerakan definitif apapun. Penggunaan kelompok sebagai kendaraan pergerakan lebih karena pertimbangan taktis dan etis. Taktis karena kelompok aksi sebetulnya bukan organisasi definitif, tidak berstruktur, dan tanpa identitas keanggotaan sehingga lebih fleksibel dengan rezim serepresif apapun. Etis karena apapun yang disuarakan oleh kelompik aksi lebih merupakan aspirasi para penggerak aksi sebagai individu, bukan sebagai anggota organisasi kader sehingga ekses negatif dari unjuk rasa tersebut tidak berimbas pada basisnya. Atau malah itu sebenarnya aspirasi organisasi basis mereka, tapi disuarakan lewat kelompok aksi atau kesatuan aksi karena alasan aksi.
Kelompok aksi bersifat kontemporer. Kelemahannya adalah begitu mudah dijangkiti isu pendalangan atau provokasi atau memang itu yang riil terjadi. Seringkali kelompok aksi dihadapkan pada isu bahwa ia tidak murni lagi gerakan mahasiswa. Isu ini bisa saja jadi benar mengingat efektivitas kelompoik aksi sebagai kelompok penekan (pressure group). Tetapi lepas dari isu sebagai isu, alat pembentuk stigma, hal ini bisa diatasi dengan keterampilan mobilisasi dan politik mahasiswa. Kelompok aksi masih relevan untuk bergerak ke depan.
· Klub Studi
Klub studi, lingkar studi, klub kajian, kelompok diskusi, grup studi atau apapun namanya adalah organisasi mahasiswa yang seringkali hadir karena ketidakpuasan organisasi kader yang massif ketika pergerakan mahasiswa telah mencapai fase ‘membangun’ (fight for) dan bukan fase ‘melawan’ (fight against) bila pergerakan mahasiswa membutuhkan sumber inspirasi, pengembangan pemikiran dan pembentukan mahasiswa berkarakter.
Pada dasarnya klub studi adalah organisasi kader yang tidak massif. Bila kekuatan organisasi kader massif adalah keleluasaan jaringannya dan pengkaderan besar-besaran yang menjamin kelangsungan hidupnya, maka kekuatan klub studi bukan pada institusinya tetapi pada kekuatan ide yang dibawa pada pribadi-pribadi aktivisnya. Itulah sebabnya klub studi tidak langgeng, tetapi tidak bisa dipungkiri keberadaan potensial klub studi sebagai organisasi bila ia sudah cukup berwibawa di kalangan pergerakan sehingga sering secara tidak langsung menjadi think tank  atau sumber referensi dalam bertindak.
Kelanggengan klub studi bisa terwujud bila tak ada diskontinuitas regenerasi dan anggota-anggotanya tidak hanya menganggap institusi ini sebagai tempat pembentukan gagasan tetapi juga sebagai wahana penyesuaian pikiran, ide dan gagasan. Di titik ini kita melihat persambungan kakareter klub studi dengan lembaga pers mahasiswa.
Di samping itu relevan sekali untuk melihat klub studi sebagai organisasi kader sejati sebagaimana yang diidamkan oleh Nurcholish Madjid di tahun 1970-an dan diwujudkannnya dalam bentuk Yayasan Paramadina Mulya sebagai LSM think tank, lembaga pendidikan sekaligus klub kajian pada 1986.

Agenda Gerakan dan Organisasi Ke Depan Mahasiswa
Mencermati tipologi gerakan mahasiswa di atas seraya pada saat yang sama melihat fakta krisis yang sedang terjadi dewasa ini, peranan dan agenda apa yang dapat dilaksanakan oleh gerakan mahasiswa? Sebagai sebuah brainstorming, saya mencoba menyumbang sedikit gagasan.
Pertama, sebagai faktor perekat bangsa guna mencegah kecenderungan disintegrasi dengan bekal “moral force” yang dimilikinya. Sebagai anasir fundamental dalam meneguhkan integritas bangsa. Dengan mengadopsi gagasan Dr. Marwah Daud Ibrahim, upaya ini dapat ditempuh dengan konsep SAKTI: Sinerji, bahwa tiap-tiap penggerak perubahan mesti merasa bahwa apa yang dilakukannya akan berlipat ganda hasilnya karena adanya integrasi dengan pihak lain;  Akumulasi, bahwa betapapun kecilnya gerakan harus dihargai sebagai proses penyempurnaan perubahan itu sendiri; Konvergensi, bahwa meskipun berangkat pada muara yang berbeda tapi tetap bergerak menuju tujuan yang sama yaitu perubahan; Totalitas, bahwa sasaran gerakan hendaklah multidimensional; dan Inklusivitas, yakni adanya keinginan untuk melihat bahwa inisiator gerakan sebagai bagian dari kita, terlepas dari manapun oasisnya.
Kedua, membangun basis dan tradisi intektualitas. Perubahan dan rekayasa sosial (social engineering) mustahil tegak tanpa kokohnya basis dan tradisi intelektualitas. Ketika mahasiswa mengembangkan pemikirannya mereka tidak lantas merebut kavling dosen mereka. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa dosen semakin tidak berani menembus frontier (tapal batas) cara berpikirnya sendiri ketika otak semakin dijejali oleh banyak pengetahuan dan teori serta banyaknya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus diamankan. Dosen cenderung menjadi peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal menyangkut definisi intelektual:

Tetapi James Mc. Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership berkata bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan analitis adalah seorang teoritisi, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya adalah seorang intelektual” kata Burns. Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Sedangkan menurut Edward E. Shills, dalam International Encyclopedia of Social Sciences, tugas intelektual adalah menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan keterampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarkat.

Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaanya, tetapi selama ia tuidak punya minat atau kepekaan kepada rangsanganangsanganudaya, ia belum berhak dinamakan intelektual. “Di dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intellectual ditujukan kepada orang yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan  budaya bangsanya” tulis sastrawan Subagio Sastrawardoyo.6

Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver) bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang kuliah.
Cita rasa intelektual mahasiswa yang menembus frontier itu mirip dengan kesan mendalam Ignas tenang Soedjatmoko:

Apakah masih mungkin bahwa zaman yang mengajukan tuntutan tinggi kepada keahlian suatu masalah khusus bisa diharapkan bahwa seseorang dengan perhatian yang begitu terpencar dapat menghasilkan suatu pemikiran yang cukup berarti?
Menurut pendapat saya, pertanyaan tersebut hampir bisa disebut tidak relevan untuk cita rasa intelektual dan selera Soedjatmoko. Aksen dalam tulisan Soedjatmoko bukanlah usaha membangun suatu sistem pemikiran atau mengadakan pembaruan dan penerobosan dalam suatu disiplin ilmu, melainkan pada kesungguhan menghadapi persoalan. Dalam semua karyanya terasa menonjol sifat pemikirannya sebagai respon terhadap suatu masalah yang mendesak atau pergulatan dengan urgensi yang meminta jawaban. Kalau pada satu dan lain kesempatan ia bersungguh-sungguh berbicara tentang pengembangan ilmu pengetahuan, maka hal itu bukan lantaran ia begitu terpukau pada cita-cita progress of knowledge, melainkan karena hal itu terlihat sebagai masalah atau kebutuhan pada suatu waktu. Ini tidak berarti bahwa bagi ia, ilmu pengetahuan hanya memiliki arti pragmatis dan manfaat instrumental semata-mata. Di dalam kumpulan karangan ini, pembaca akan bertemu dengan pembelanya yang gemilang tentang otonomi ilmu sebagai syarat perkembangan ilmu, serta kritiknya yang terus terang tentang praktik penelitian pesanan. Namun demikian, dalam pembahasannya tentang otonomi ilmu pun, garis bawah harus ditempatkan dibawah otonomi, bukan di bawah kata ilmu.7

Cita rasa intelektual gerakan mahasiswa adalah cita rasa hadap-masalah. Lebih cepat diterjemahkan sebagai praksis ke pragmatis. Praksis, secara filosofis berarti pememahan terhadap dunia dan kehidupan serta hasrat untuk mengubahnya. Freire menyederhanakannya menjadi hasrat untuk mewujudkan keharusan sejarah di atas kenyataan sejarah yang bertentangan dengannya. Atau juga hasrat untuk memupus ketegangan anatara das Sein dan das Sollen. Menurut Jalal, ketegangan itu sendiri yang merupakan segala masalah dan Freire meyakinkan bahwa pemupusan itulah tugas fitri manusia (the man’s onthological vocation).8
Ini juga tak berarti gerakan mahasiswa menjadi generalis. Komitmen dan spesialisasi mereka bukan hanya pada jurusan yang mereka pilih di perguruan tinggi, tapi juga komitmen dan spesialisasi mereka pada wacana-wacana di balik fenomena kesehariaan yang memilikuan hati mereka sebagai mahasiswa, sebagai manusia, sebagai anak bangsa. Kata kuncinya adalah perubahan, transformasi dan praksis. Adakah yang lebih mengharukan ketimbang manifestasi perhatian mereka terhadap pentingnya perubahan ke arah yang lebih baik walau acap dilecehkan dan dianggap sok tahu, sok sibuk dan sok ngurusin.
Apa yang diusahakan gerakan mahasiswa hendaklah cara berpikir makro walaupun hanya mampu berbuat secara mikro. Dawam Rahardjo lebih cenderung menggunakan istilah global dan lokal. Apa yang dimaksud dengan makro dan global adalah cara berpikir holistik, integral sekaligus divergen dan lintas disiplin. Ini hanya bisa dikembangkan dari keberanian berpikir; kebebasan berpikir dan pikiran yang bebas.
Gerakan mahasiswa perlu mengaristeki kelahiran kembali tradisi ilmiah yang senantiasa bersikap mempertanyakan, memperdebatkan, mendiskusikan, dan meragukan demi menghampiri lapangan raksasa kebenaran. Namun, yang hadir nyatanya prilaku batin anti tradisi akademis yang berurat berakar, sikap para dosen dan guru besar yang anti didebat, tampilan muka merah di waktu diragukan pernyataannya, atau eksekusi dendam kepada mahasiswa yang kelewat kritis. Satu-satunya tradisi yang ditegakkan adalah tradisi menghapal, jangan membantah, jangan bertanya dan jangan menggugat.
Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan. Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder, semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.
Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politik-keamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot gerakan mahasiswa, termasuk gerakan mahasiswa sendiri. Kita tidak mendengar, misalnya, mahasiswa berdemonstrasi karena perpustakaan-perpustakaan kampus mereka yang kekurangan buku, atau karena kualitas para pengajarnya yang buruk. Calon-calon intelektual itu tidak pernah merasa gundah dengan peringkat pendidikan kita yang dari tahun ke tahun—menurut beberapa survei internasional—terus terperosok ke bawah.
Kelima, meningkatkan kemampuan gerakan mahasiswa dalam mempengaruhi pihak lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, kerja sama, aliansi, dan koalisi. Jangan pernah membayangkan bahwa gerakan mahasiswa bakal mengelola dan melakukan apapun sendiri. gerakan mahasiswa hanya menjadi bagian dari sebuah koalisi besar dalam melakukan mega proyek perubahan. Jadi, yang perlu dilakukan ke depan adalah mengembangkan kemampuan mempengaruhi pihak lain, memperkuat jaringan lobi ke kalangan politisi, pengusaha, media massa, dan militer, serta membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
Keenam, memperbanyak figur publik  ke dalam berbagai bidang. Para peminat, pengamat, atau aktor dalam berbagai bidang harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan gerakan mahasiswa. Sejumlah orang yang mempunyai kelebihan intelektual yang lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang bisa terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang. Tapi, sebagian besar anggota gerakan mahasiswa punya satu spesialisasi yang dengan itu mereka dikenal masyarakat.
Islam, sebagai sumber inspirasi gerakan mahasiswa, merupakan faktor terpenting dalam mendorong munculnya perubahan sosial. Ini bisa dilihat dari peranan yang dimainkan UGEMA (Union Generale des Etudinas Muslumans Algeriens atau Persatuan Umum Mahasiswa Muslim Aljazair). Organisasi yang didirikan di Paris pada Juli 1955 memilikul peranan besar dalam perjuangan pembebasan Aljazair dari Prancis yang berusaha melanjutkan cengkeramannya setelah revolusi Aljazair pecah menjelang akhir 1954. Pengalaman yang sama juga terlihat dalam kemunculan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Indonesia, yang menduduki peranan krusial dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam penumbangan Orde Lama pada 1966. Dengan melihat kasus UGEMA dan HMI ini, Emmerson menyatakan bahwa terdapat korelasi positif di antara religiusitas dan politisasi mahasiswa.9
Dengan cara itu gerakan mahasiswa mengembangkan citra diri dari sekadar orang-orang baik menjadi kumpulan orang-orang kuat. Sebab dunia politik adalah dunia orang kuat. Tapi Islamlah yang membuat dunia politik menjadi dunia orang baik yang kuat atau dunia orang kuat yang baik.

Paramater Keberhasilan
Gerakan dan organisasi mahasiswa bakal berhasil bila mampu menjalankan dan mencapai agenda-agenda ke depan. Tapi saya ingin menegaskan hal lainnya bahwa standar keberhasilan utama tidak ditentukan secara taktis, tapi strategis. Pada hemat saya, keberhasilan gerakan dan organisasi mahasiswa amat ditentukan oleh kedigdayaannya mendesakkan reformasi kultural.
Guna mengukuhkan agenda perubahan, gerakan dan organisasi mahasiswa perlu kiranya melakukan reformasi kultural dengan membongkar sikap-sikap: bukan tipe ideolog dan kader, tetapi massa; berorientasi kepada eksoterisme, bukan esoterisme; minim keinsafan politik atau tidak melek politik (pasive in politics), bukan aktif dalam politik (active in politics); berorientasi ke dalam (inward-looking oriented), bukan ke luar (outward looking oriented); punya paradigma “tahu banyak” ketimbang “banyak tahu.”; bermental mahasiswa dan ilmuan, bukan intelektual; cenderung tertutup pada gagasan adan pengalaman baru (closeness to new experiences), bukan terbuka (openness to new experiences); belum mandiri atau otonom (dependence), tidak mandiri (dependence); percaya kepada hardware (belief in superstition), bukan kepada sains (belief in science); berorientasi kepada ketenangan (equillibrium orientation), bukan kepada mobilitas (mobility orientation); cenderung berorientasi kepada jangka pendek (use of short term planning), bukan jangka panjang (use of long term planning), dll.
Guna mengatasi pelbagai mentalitas kultur dan model gerakan mahasiswa Unand seperti tersebut di atas, perlu dilakukan upaya pertobatan paradigma (paradigm atonement), dan bukan sekadar pergeseran paradigma (paradigm shift), seperti: dari otoriter menjadi demokratis, dari pendekatan dari atas (top-down approach) menjadi dari bawah (buttom-up approach), dari dependent menjadi mandiri, dari tanggung jawab berada pada atasan jadi bertanggung jawab sendiri, dari menunggu instruksi dan petunjuk menjadi berinisiatif dan proaktif, dari bersifat eksklusif menjadi bersifat inklusif, dari merasa benar sendiri (egosentris) menjadi harus menerima dan menghargai pandangan orang lain walaupun berbeda, dari sikap hitam-putih menjadi sikap yang penuh nuansa, dari pejabat yang biasa dilayani menjadi yang melayani masyarakat (public servant), dari kedudukan tanpa kontrol bahkan justru membidik masyarakat menjadi yang selalu disoroti dan dikontrol oleh masyarakat, dari yang bersifat hierarkis dan protokoler yang ketat menjadi egaliterian, dari sikap yang menganggap hukum dan aturan digunakan untuk kepentingan kekuasaan menjadi untuk kebenaran dan keadilan, dari hukum hanya berlaku untuk rakyat saja menjadi sama di depan hukum, dari kehidupan yang penuh hak-hak istimewa (privileges) menjadi kehidupan tanpa hak-hak istimewa, dari penyelesaian dengan penggunaan kekuasaan menjadi penyelesaian menurut hukum, atau mekanisme dan prosedur demokrasi (bagi penyelesaian politik), dari suka memaksakan kehendak menjadi harus mendengarkan pandangan atau keinginan orang atau kelompok lain, dari hukum dapat dikesampingkan menjadi menghormati dan menegakkan hukum, dari suka mendengarkan suaranya sendiri menjadi harus mendengarkan dan mengakomodasi suara orang lain.
Wa ‘l-Lâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb


Jangan Lupa Jempolnya :


Berikan Tanggapan Anda .....

0 Respones to "Perkembangan Gerakan-Organisasi Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan"

Posting Komentar

 

Dibutuhkan Bulan ini :

Paling Dibutuhkan :

Dibutuhkan Minggu Ini

© 2011 blog coba coba PublisedSeo Template Blogger Converted Template by Hack Tutors.info